Tag: kuliah di cina
Pengalaman Peserta KuliahTiongkok.com Mendapat Beasiswa Penuh
Pengalaman Nikkolai Ulyanov, peserta KuliahTiongkok.com kuliah di Tiongkok dan berhasil mendapat beasiswa penuh (full scholarship), menarik untuk dibaca. Berawal dari kegalauannya setelah berkuliah Game Development di KDU, Selangor, Malaysia, ia ingin kuliah di Tiongkok. Guangzhou yang menjadi incarannya. Kenapa? Ia ingin mengembangkan bisnis yang selalu diimpikannya. Selama di Malaysia, ia senantiasa bersinggungan dengan komunitas akademik dan industri yang sangat “berbau” Tiongkok. Bahasa Mandarin paling banyak digunakan di dunia bisnis yang ia saksikan di Malaysia, walaupun di dunia akademik tetap menggunakan bahasa Inggris.
Impiannya ingin bisa kuliah di Guangzhou, tercapailah. Uniknya, ia memulai kuliah di Tiongkok (Guangzhou) berangkat dengan modal bahasa Mandarin nol, alias tidak bisa sama sekali.
Kampus pilihannya, yang menerimanya, dan sekaligus memberinya beasiswa penuh, yakni Sun Yat Sen University, memberinya kesempatan mengikuti kelas pelajaran bahasa Mandarin selama 1 tahun di Sun Yat Sen University kampus Zhuhai. Alhasil, Nikkolai berhasil menyabet nilai HSK 5 pada ujian akhir tahun untuk bahasa Mandarin. Kemudian ia melanjutkan kuliah jurusannya, yakni Software Engineering di Sun Yat Sen University kampus Guangzhou.
Berikut penuturan Nikolai Ulyanov:
“Saya Nikkolai Ulyanov, mahasiswa Sun Yat Sen University (SYSU) jurusan Software Engineering dengan beasiswa penuh dengan dibantu oleh KuliahTiongkok.com. Saya masuk SYSU pada September 2018. Pada saat mendaftar, saya tidak bisa bahasa Mandarin. Saya mengikuti pelajaran bahasa Mandarin di kampus SYSU Zhuhai selama satu tahun. Alhamdulillah saya lulus HSK 5 dan saat ini saya sudah pindah ke kampus SYSU Guangzhou untuk perkuliahan saya.
Oh ya sebelum ini saya adalah mahasiswa School of Computer & Multimedia jurusan Game Development di KDU Selangor, Malaysia. Saya memilih pindah ke SYSU karena kampus Tiongkok lebih mendukung rancangan keahlian saya. Di samping itu, Guangzhou adalah kota bisnis yang merupakan daya tarik tersendiri bagi saya. Saya ingin mengembangkan bisnis yang ditopang kemampuan IT. Lagian… saya di sini kan dapat beasiswa penuh”. “Saya berterima kasih kepada KuliahTiongkok.com. Maju teruuss… Bantu anak-anak Indonesia!”
Selama di Zhuhai, Nikkolai kadang pergi jalan-jalan ke Macau bersama teman-temannya. Zhuhai – Macau ditempuhnya selama 1 jam dengan bus dengan ongkos Rp. 8.000,- pergi-pulang.


Catatan Kongres Diaspora Indonesia
Gagasan “mengumpulkan” diaspora, yang secara mudah diartikan sebagai “orang-orang Indonesia atau yang memiliki pertalian budaya dengan Indonesia yang tinggal di luar negeri” adalah sebuah kebaikan.
Orang Jawa bilang, “ngumpulke balung pisah” atau “mengumpulkan tulang belulang yang berserakan” supaya tidak “kepaten obor” atau “mengalami kematian obor” yang bermakna terlepas dari jejak leluhur.
Mengumpulkan kaum diaspora, adalah gagasan silaturahim. Bisa jadi mereka yang sedang terpisah secara budaya dan mengalami life-world budaya baru itu sedang mengalami kerinduan akan pertalian “budaya asal” yang sama.
Saya tak hendak berusaha mencurigai apa-apa atau mengkiritik apa-apa, karena sebagaimanapun kekurangan yang ada, aktivitas “ngumpulke balung pisah” adalah baik dan sebuah kebaikan.
Ke depan, aktivitas komunitas diaspora Indonesia ini bisa makin menemukan jati dirinya, dan benar-benar mampu berkontribusi bagi “nenek moyangnya”.
Tahap saat ini adalah tahap permulaan. Sudah baik. Perjalanan 1 li dimulai dari 1 langkah, kata orang bijak zaman dulu di Tiongkok.
Terlepas dari kekurangan yang ada, kiranya patutlah kita berterima kasih kepada Dino Patti Jalal, sang penggagas komunitas diaspora Indonesia.
Berikut, saya hadirkan tulisan menarik tentang diaspora Indonesia, oleh Windu Jusuf, sebagaimana pernah dimuat di Tirto.co.id dengan judul “Salah Kaprah Diaspora”.
Tirto.co.id membuka percakapan dengan sebuah tagline “Kongres Diaspora Indonesia cenderung menyederhanakan kompleksitas fenomena diaspora”.
Berikut beritanya, sebagaimana asli terbitan Tirto.co.id, tanpa editing.


Pembicaraan publik seputar Kongres Diaspora Indonesia memunculkan satu pertanyaan: benarkah kata “diaspora” tepat untuk mendeskripksikan jutaan orang Indonesia yang sudah tinggal dan bekerja di luar negeri?
Dalam kajian ilmu sosial, diaspora merupakan lema yang digunakan untuk merujuk kelompok-kelompok etnis atau bangsa yang tinggal jauh dari kampung halaman dan, umumnya, sangat mempertimbangkan sebab-sebab persebaran kelompok tersebut: penindasan politik, persekusi, wabah, dst.
Situs Indonesian Diasporan Network (IDN) menyebutkan bahwa: istilah Diaspora Indonesia sendiri memiliki arti warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri dan terbagi dalam empat kelompok. Kelompok pertama adalah WNI yang tinggal di luar negeri yakni masih memegang paspor Indonesia secara sah. Kelompok kedua adalah warga Indonesia yang telah menjadi warga negara asing karena proses naturalisasi dan tidak lagi memiliki paspor Indonesia. Sementara bagi warga negara asing yang memiliki orang tua atau leluhur yang berasal dari Indonesia masuk dalam kategori ketiga. Dan kelompok yang terakhir adalah warga negara asing yang tidak memiliki pertalian leluhur dengan Indonesia sama sekali namun memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap Indonesia.
IDN didirikan pada 2012 oleh Dino Patti Djalal. Dalam sebuah wawancara pada 2013, Dino mengklaim bahwa pembentukan jejaring diaspora Indonesia bermula saat ia menjabat Duta Besar Indonesia di Amerika Serikat (antara 10 Agustus 2010 – 17 September 2013). Ia mengatakan bertemu banyak sarjana dan pengusaha di antara komunitas Indonesia.
“Saya terkejut oleh kisah-kisah sukses mereka dan fakta bahwa banyak dari mereka saling tidak mengenal. Dari sini muncullah ide untuk menjadikan titik-titik perorangan ini sebuah jejaring global,” ujar Dino yang sempat menjadi Wakil Menteri Luar Negeri dalam waktu yang cukup singkat (14 Juli 2014 – 20 Oktober 2014).
Kata diaspora diputuskan untuk dipakai untuk, menurut Dino, “[…] menghubungkan bukan saja warganegara Indonesia tapi juga keturunan Indonesia.”
Yang patut digarisbawahi di sini adalah “cerita sukses”. Dino sendiri, pada 2012, pernah menerbitkan buku berjudul Life Stories: Resep Sukses dan Etos Hidup Diaspora Indonesia di Negeri Orang, yang berisi pengalaman sejumlah orang Indonesia di luar negeri.
Pertanyaannya adalah: apakah seseorang harus sukses sebelum boleh masuk ke dalam kategori “diaspora”? Tapi lagi-lagi, apa ukuran sukses?
Asal-Usul Diaspora
Sebelum jadi jargon pada era Dino Patti Djalal, bahkan hingga kini di lingkungan akademik, kata “diaspora” jauh dari konotasi yang menyenangkan.
Bahasa Indonesia mengenal lema “perantau” untuk orang-orang yang mencari penghidupan jauh dari kampung halaman; “pengungsi” untuk mereka yang melarikan diri dari konflik atau dipersekusi pemerintah.
Media-media arus-utama menggunakan kata “ekspatriat” untuk menamai orang-orang dari luar negeri (umumnya dari negara maju seperti Amerika utara dan Eropa Barat) yang bekerja di Indonesia. Sedangkan kata “migran” dipakai, biasanya, untuk pekerja-pekerja kasar dari negara-negara Dunia Ketiga. Penggunaan kata “ekspat” belakang sering digugat karena hanya berlaku untuk orang-orang kulit putih. Pekerja rantau atau pekerja tamu, mungkin lebih baik untuk menyebut baik yang biasa disebut “ekspat” maupun “migran”.
Menyoal kesuksesan yang dikatakan Dino, perantau, atau lebih persisnya, perantau sukses, boleh jadi lebih tepat digunakan untuk menggeser penggunaan kata “diaspora” yang, dalam praktiknya, lebih sering digunakan untuk menjelaskan fenomena perpindahan manusia dari karena alasan-alasan yang tidak menyenangkan.
Dalam disertasinya yang dibukukan tentang diaspora Aceh, Separatist Conflict in Indonesia: The long-distance politics of the Acehnese diaspora (2012), peneliti Jerman Antje Missbach menyatakan bahwa sampai tahun 1970an, istilah ini ekslusif hanya digunakan untuk menyebut Diaspora Yahudi, Armenia, Yunani guna menandai persebaran suku-suku bangsa kuno yang telah berlangsung selama berabad-abad.
“Makna konotatif yang diperoleh dari pengalaman mereka negatif, misalnya pengusiran, perlakuan tidak adil, pemiskinan, penganiayaan dan trauma,” tulis Missbach. Diaspora dibedakan dari perantau atau migran dalam artian luas, berdasarkan keinginan kolektif mereka untuk memelihara ikatan kultural dengan tanah air.
Kajian-kajian akademik pada umumnya menyebut “diaspora Yahudi” untuk orang-orang berdarah Yahudi yang tinggal di seluruh dunia guna menghindari persekusi di Eropa hingga Perang Dunia II; atau “diaspora Armenia” untuk orang-orang Armenia beserta keturunannya yang mengungsi akibat pembantaian oleh pasukan Turki Usmani pada Perang Dunia I; “White Russians” untuk simpatisan Tsar pada era Revolusi Bolshevik yang di antaranya mengungsi ke Tiongkok dan Eropa Barat; “diaspora Tiongkok” untuk orang-orang Tionghoa yang kabur dari Revolusi Kebudayaan zaman Mao; “diaspora Iran” untuk orang-orang Iran yang meninggalkan tanah air untuk menghindari penindasan Shah atau kecamuk Revolusi Iran; dan “diaspora orang Kroasia” setelah Perang Balkan.
Namun bukan berarti diaspora Indonesia tidak ada. Dalam definisi akademik di atas, diaspora Indonesia sungguh-sungguh eksis.
Dari wilayah Indonesia sendiri, setidaknya terdapat lima kelompok besar diaspora: diaspora penyintas 1965, yakni orang-orang Indonesia yang berada di luar negeri dan tak bisa kembali setelah pembantaian 1965-66; diaspora Timor, yaitu orang-orang Timur Leste (di antaranya Ramos Horta dan Mari Alkatiri) yang terpaksa menyingkir dari kampung halaman sejak invasi Orde Baru ke Timor (1975); diaspora Aceh, yang lahir akibat konflik dengan pemerintah pusat pada era Soekarno, Soeharto, hingga Megawati; diaspora orang-orang Maluku pendukung Republik Maluku Selatan di Belanda; serta diaspora Papua yang terdiri dari jejaring aktivis pro-kemerdekaan Papua di luar tanah Papua.
Missbach menyebutkan bahwa ketertarikan atas topik diaspora juga meningkat bukan hanya karena semakin tumbuhnya komunitas-komunitas serupa, tapi juga “karena peran mereka semakin diakui dalam politik global.”
Demikianlah, diaspora orang Rusia pasca revolusi 1917 ikut membantu kemenangan Soviet dan Sekutu atas Blok fasis pada Perang Dunia II; kalangan Yahudi liberal di New York didengar suaranya di forum-forum dunia terkait konflik Israel-Palestina; komunitas Kuba yang tinggal di Florida (salah satunya Marco Rubio, kandidat presiden dari Partai Republik AS), selama bertahun-tahun aktif melobi pemerintah AS untuk mendorong terciptanya kebijakan-kebijakan anti-Castro.
Terkait politik global kelompok-kelompok diaspora dari wilayah Indonesia, tercatat Gerakan Aceh Merdeka memperoleh dukungan finansial yang sangat besar dari sumbangan para tenaga kerja Aceh di Malaysia. Tekanan internasional terhadap Timor Leste bertambah besar dengan aksi-aksi solidaritas di luar negeri yang digalang oleh kalangan diaspora Timor—salah satunya adalah demo di Dresden, Jerman, menyambut lawatan Soeharto pada 1995.
Seiring lengsernya Soeharto, selesainya konflik di Aceh, dan kemerdekaan untuk Timor Leste, sebagian dari anggota diaspora kembali ke kampung halaman. Sebagian lainnya, misalnya sejumlah diaspora 1965, sejenak pulang dengan paspor asing—kewarganegaraan mereka dicabut dan tak pernah dipulihkan.
Kelompok terakhir inilah yang lazim dipanggil sebagai “orang-orang eksil”.
Ditulis oleh: Windu Jusuf
Pengantar tulisan di website ini: Wawan Kuswandoro
Gambar ilustrasi utama: dokumen pribadi Nikko Akbar.
Sumber tulisan: https://tirto.id/salah-kaprah-diaspora-crRD
Kerja Seusai Kuliah
Ini kisah teman-teman yang kuliah di universitas di Tiongkok, langsung kerja seusai kuliah S1. Lulus S1 maksudnya. Kalau aku sih secara umum, menurut kamus umum kebanyakan orang, selama kuliah ini mungkin belum bisa dikatakan ‘bekerja’. Walaupun dari aktivitasku itu aku mendapatkan insentif lumayan yang membuat hidupku di rantau ini lumayan menyenangkan hehe… Bukan bekerja ya? Gak pa pa… Bagiku yang penting bukan sebutannya, tapi substansinya… hoho….
Kalau selama kuliah di Tiongkok, memang tidak boleh kerja (baca tulisan terdahulu ya) dalam arti kerja dalam ikatan kontrak kerja dengan institusi pemberi kerja. Tetapi kalau melakukan aktivitas freelance yang dapat bernilai uang atau menghasilkan uang (dan itu banyak peluang di Tiongkok), ya boleh boleh saja. Apalagi era digital begini. Hampir seluruh “aktivitas berbau uang” tersebut dapat dilakukan secara online.
Dalam tulisan ini, aku bagikan sekilas saja, pengalaman teman-temanku, para seniorku yang lulus duluan dan kerja di Indonesia. Denger-denger sih dapat gaji yang lumayan gede, untuk ukuran fresh graduate. Kebanyakan mereka ini direkrut oleh pasar kerja karena pertimbangan bahasa Mandarin yang bagus. Ya iyalah, kuliah dan hidup di Tiongkok. Bahasa Mandarinnya sudah tak diragukan lagi. Inilah keunggulan minimalis kuliah di Tiongkok sodara-sodara…
Sebagian dari mereka sih bekerja di luar disiplin ilmunya. Pemberi kerja membutuhkan kecakapan bahasa Mandarin saja. Jika soal ini, lulusan universitas di Indonesia juga demikian. Misalnya, lulusan jurusan teknik sipil kerja di bank hehe..
Nah.. sebagian teman-temanku, seniorku juga gitu. Kadang yang seperti ini juga karena mereka kuliah di Tiongkok supaya mendapat “gelar ekstra” lulusan Tiongkok dan ingin memperdalam bahasa Mandarin saja. Hitung-hitung, dapat bahasa, dapat ilmu. Ada tuh seniorku, G (perempuan), lulus universitas kedokteran di Chongqing, kerja sebagai interpreter bahasa Mandarin di Indonesia. Gajinya lumayan gede. Anaknya seneng banget ternyata. Nah..
Ada pula, Calin, lulus dari teknik informatika universitas di Zhengzhou University, langsung mendapat tawaran kerja di bank terkemuka Indonesia berkedudukan di kantor pusat (headquarter), di Jakarta. Tanpa tes pula, “hanya” memperlihatkan ijazah universitas di Tiongkok tersebut. Pihak bank tersebut sudah langsung percaya kualifikasi yang dibutuhkan begitu melihat ijazah dari universitas di Tiongkok. Lagi-lagi, bahasa Mandarin yang diutamakan.
Lho… kenapa gak kuliah jurusan bahasa Mandarin saja?
Jusru dengan kuliah jurusan teknik, informatika, kedokteran, psikologi, dll, bisa dapat ilmu-ilmu tersebut disamping bahasa Mandarin yang pasti didapatnya pula!
Kecuali kalau memmang mau mempelajari bahasa Mandarin hingga ke akar-akarnya, ke aspek sastra Mandarin misalnya atau kebudayaan Tiongkok misalnya. Lain soal. Kalau “hanya” ingin menguasai bahasa Mandarin, kuliahlah di jurusan yang kamu sukai, dapat ilmu dobel deh… dapat ilmu yang kamu sukai itu, dapat pula bahasa Mandarin!
Masih banyak contoh lain kisah sukses kerja seusai kuliah. Begitu lulus kuliah langsung dapat kerja. Lapangan kerja yang paling “mudah” adalah guide bahasa Mandarin dan penerjemah bahasa Mandarin.
Menurut penuturan beberapa pelaku usaha tour and travel, dan dibenarkan oleh tour leader-nya, bahwa honor untuk guide bahasa Mandarin lebih mahal daripada guide bahasa Inggris! Mungkin bahasa Inggris sudah dianggap pasaran kali yaa…. 🙁 🙂
Dan, penerjemah bahasa Mandarin juga lumayan gede gajinya… wuih wuih… hehe…
Kisah-kisah kerja seusai kuliah, akan kutulis lagi di tulisan mendatang ya gaess… Akan kucari nara sumber lain nanti, yakni mereka yang kerja selulus kuliah. Kalau mereka ada waktu, mereka sendiri yang kuminta menuliskan pengalaman mereka sendiri untuk diterbitin di sini. Gimana gaes….
Okay gaess… sampai ketemu di tulisan mendatang ya….
Tetap semangat… jia you ! 加油 !